Teknologi
bukan lagi menjadi sebuah momok yang mengejutkan di ranah masyarakat. Seiring
waktu berjalan dimana kita semua dihadapkan oleh sebuah massa yang dikenal
sebagai era elektronik. Kekuatan digital yang berimbas ke semua sektor mulai
dari transportasi hingga komunikasi menuntut kita sebagai masyarakat untuk
cerdas dan bijak dalam setiap penggunaannya. Perkembangan babak baru di era
digital yang tercermin dalam transaksi keuangan dengan sistem non tunai menjadi
fokus utama pemerintah yang tentu saja menggandeng Bank Indonesia sebagai bank
sentral yang memiliki otoritas penyelenggara sistem pembayaran. Inovasi baru
sebagai hasil dari revolusi tersebut
dapat terlihat dengan adanya sebuah transaksi dinamis yang dapat kita rasakan
belakangan ini. Tak tertinggal pula di sektor perbankan yang saling
berkompetisi menciptakan sebuah temuan baru dengan memanfaatkan kecanggihan
teknologi demi kepraktisan dan kemudahan
masyarakat dalam bertransaksi, khususnya bagi para generasi milenial.
Belum
lama ini, kita dihadirkan oleh sebuah alat pembayaran dengan nilai uang yang
disimpan secara elektronik dalam sebuah media yang diterbitkan oleh beberapa
bank konvensional ataupun lembaga lain selain Bank yang telah memperoleh izin
dari Bank Indonesia dalam rangka mendukung jasa sistem pembayaran. Penggunaan uang
elektronik di era modern ini dapat kita manfaatkan pada saat berbelanja di minimarket/ merchant. Khusus bagi
masyarakat wilayah Jabodetabek, uang elektronik dapat digunakan untuk
pembayaran transportasi umum, mulai dari kereta listrik hingga busway atau Trans Jakarta. Penggunaan
uang elektronik mulai diberlakukan pula di setiap ruas gardu tol. Sejalan
dengan program Pemerintah melalui Badan Usaha Jalan Tol yang bekerjasama dengan
Bank Indonesia dan perbankan untuk menuju 100% elektronifikasi pembayaran jalan
tol maka ditetapkanlah tanggal 31 Oktober
2017 sebagai hari dan tanggal bersejarah bagi gardu gerbang tol yang sebelumnya
masih melayani transaksi tunai untuk beralih pada transaksi non tunai yang serentak
dilakukan di semua ruas tol.
Perubahan
dan pembaharuan transaksi menggunakan uang elektronik yang terjadi di lingkungan
masyarakat memunculkan polemik yang tidak sedikit. Tanggapan khalayak yang
mempertanyakan payung hukum kebijakan penyelenggaraan uang elektronik terus bermunculan.
Hingga pada akhirnya, Bank Indonesia sebagai lembaga yang bertugas mengatur dan
menjaga kelancaran sistem pembayaran sesuai yang diamanatkan dalam UU No. 23
Tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU No. 6 Tahun 2009 mengeluarkan sebuah regulasi yang tertuang
dalam Peraturan Bank Indonesia No. 18/17/PBI/2016 tentang Uang Elektronik.
Meskipun UU Mata Uang memiliki tingkatan hierarki teratas jika dibanding dengan
Peraturan lainnya namun dapat menjadi perhatian
kita bersama bahwa dalam pasal 3 ayat 4 UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang disebut bahwa Bank Indonesia berkoordinasi dengan pemerintah dalam hal
menentukan pecahan rupiah dengan memperhatikan kondisi moneter, kepraktisan
sebagai alat pembayaran dan/ atau kebutuhan masyarakat.
Tak
melulu kontra dan polemik yang terjadi
di tengah masyarakat terkait penggunaan uang elektronik, keberadaan electronic money pun mendapat
sambutan positif dari masyarakat terutama mereka yang mengutamakan kepraktisan dalam
bertransaksi namun tidak pula menyudutkan segi keamanan. Penggunaan uang
elektronik hadir membawa manfaat di tengah masyarakat di era modern, di
antaranya saat
para pengendara melakukan transaksi di gardu tol, dimana antrian panjang yang menyita banyak waktu serta tenaga dapat
terpangkas dengan adanya transaksi melalui uang elektronik yang sangat cepat, efektif dan efisien. Kemudahan
lainnya adalah saat
berbelanja di minimarket yang tidak perlu lagi membawa dompet berisi
uang setebal bantal yang
beresiko mengundang tindak kejahatan. Bagi masyarakat wilayah Jabodetabek,
khususnya pengguna setia kereta litsrik dapat terhindar dari antrian panjang
saat naik KRL mengingat transaksi dengan menggunakan uang elektronik dilakukan
secara terpisah dan lebih cepat. Perkembangan situs dan aplikasi belanja online hampir seluruhnya telah memiliki
fitur e-money. Sehingga, hanya dengan
bertransaksi melalui gadget kita
dapat memperoleh barang yang dibutuhkan tanpa perlu membayarnya melalui mesin
ATM ataupun dengan cara antri di loket teller yang telah dianggap sebagai “lagu
lama” bagi segelintir orang yang sudah familier dengan uang elektronik.
Penerbit uang elektronik yang sampai saat ini baru dapat dilakukan oleh beberapa bank dan lembaga lain yang telah mendapatkan izin dari Bank Indonesia tentunya akan merambah seiring dengan kebutuhan masyarakat. Namun, dari segala kemudahan yang ditawarkan oleh electronic money ini tentu ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian serta kesigapan masyarakat di dalam merespon dan menyikapinya. E-Money yang diterbitkan dengan brand name bervariasi dari masing-masing penerbit tak bisa disamakan dengan uang elektronik yang teregistered seperti kartu kredit dan kartu debit yang membutuhkan Personal Identification Number (PIN) dalam melakukan transaksi pembayaran. Uang elektronik yang digunakan khususnya dalam pembayaran di ruas gardu tol tidak membutuhkan PIN untuk melakukan transaksi, mengingat uang elektronik yang digunakan tersebut bersifat unregistered, yaitu tidak terdafar dan tidak tercatat pada penerbit sehingga masyarakat dapat dengan mudah mendapatkannya tanpa harus melakukan registrasi untuk membuka tabungan atau rekening pada Penerbit uang elektronik.
Populernya uang elektronik berbasis kartu di lingkungan masyarakat belum mencapai tingkat kesempurnaan dalam penggunaannya. Masih terbatasnya merchant-merchant yang dapat menerima transaksi pembayaran melalui uang elektronik menjadi salah satu kendala terwujudnya less cash society. Tidak hanya itu, dari sisi keamanan uang elektonik unregistered membutuhkan ekstra kehatian-hatian terlebih dalam hal penyimpanan. Hilangnya e-money unregistered tidak bisa terlacak oleh pengguna maupun penerbit sehingga penerapannya dalam transaksi pembayaran dianalogikan sebagai dompet berisi uang yang tidak memperoleh penggantian jika hilang ataupun jatuh. Perhatian masyarakat dalam menyikapi fenomena tersebut tentunya menuntut langkah-langkah dalam memitigasi resiko, salah satunya tidak melakukan top-up saldo uang elektronik dengan jumlah melebihi batas maksimal uang elektronik unregistered tesebut, yaitu Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Di samping itu, para pengguna uang elektronik unregistered di dalam melakukan transaksi dihimbau untuk tidak melakukan pembayaran dengan nominal besar.
Revolusi di era ekonomi digital dipandang perlu dalam mewujudkan transaksi pembayaran yang praktis dan efisien. Harapan untuk mewujudkan komunitas masyarakat yang menggunakan instrumen ekonomi non tunai dalam setiap kegiatan ekonominya atau dikenal dengan istilah less cash society selalu digencarkan oleh Bank Indonesia untuk menekan pertumbuhan uang kartal karena akan menekan pengeluaran negara dalam hal pencetakan uang. Di sisi lain, dengan melakukan transaksi pembayaran non tunai kita turut berkontribusi melindungi negara dari tindak pemalsuan uang, money laundering, hingga kasus korupsi.
Penerbit uang elektronik yang sampai saat ini baru dapat dilakukan oleh beberapa bank dan lembaga lain yang telah mendapatkan izin dari Bank Indonesia tentunya akan merambah seiring dengan kebutuhan masyarakat. Namun, dari segala kemudahan yang ditawarkan oleh electronic money ini tentu ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian serta kesigapan masyarakat di dalam merespon dan menyikapinya. E-Money yang diterbitkan dengan brand name bervariasi dari masing-masing penerbit tak bisa disamakan dengan uang elektronik yang teregistered seperti kartu kredit dan kartu debit yang membutuhkan Personal Identification Number (PIN) dalam melakukan transaksi pembayaran. Uang elektronik yang digunakan khususnya dalam pembayaran di ruas gardu tol tidak membutuhkan PIN untuk melakukan transaksi, mengingat uang elektronik yang digunakan tersebut bersifat unregistered, yaitu tidak terdafar dan tidak tercatat pada penerbit sehingga masyarakat dapat dengan mudah mendapatkannya tanpa harus melakukan registrasi untuk membuka tabungan atau rekening pada Penerbit uang elektronik.
Populernya uang elektronik berbasis kartu di lingkungan masyarakat belum mencapai tingkat kesempurnaan dalam penggunaannya. Masih terbatasnya merchant-merchant yang dapat menerima transaksi pembayaran melalui uang elektronik menjadi salah satu kendala terwujudnya less cash society. Tidak hanya itu, dari sisi keamanan uang elektonik unregistered membutuhkan ekstra kehatian-hatian terlebih dalam hal penyimpanan. Hilangnya e-money unregistered tidak bisa terlacak oleh pengguna maupun penerbit sehingga penerapannya dalam transaksi pembayaran dianalogikan sebagai dompet berisi uang yang tidak memperoleh penggantian jika hilang ataupun jatuh. Perhatian masyarakat dalam menyikapi fenomena tersebut tentunya menuntut langkah-langkah dalam memitigasi resiko, salah satunya tidak melakukan top-up saldo uang elektronik dengan jumlah melebihi batas maksimal uang elektronik unregistered tesebut, yaitu Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Di samping itu, para pengguna uang elektronik unregistered di dalam melakukan transaksi dihimbau untuk tidak melakukan pembayaran dengan nominal besar.
Revolusi di era ekonomi digital dipandang perlu dalam mewujudkan transaksi pembayaran yang praktis dan efisien. Harapan untuk mewujudkan komunitas masyarakat yang menggunakan instrumen ekonomi non tunai dalam setiap kegiatan ekonominya atau dikenal dengan istilah less cash society selalu digencarkan oleh Bank Indonesia untuk menekan pertumbuhan uang kartal karena akan menekan pengeluaran negara dalam hal pencetakan uang. Di sisi lain, dengan melakukan transaksi pembayaran non tunai kita turut berkontribusi melindungi negara dari tindak pemalsuan uang, money laundering, hingga kasus korupsi.
Jadi, sudahkah Anda memiliki Uang Elektronik hari ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.